Lukas 15:11-32 - Disampaikan oleh Pendeta Eric Chang, Montreal
Isi Cerita tentang Anak yang Hilang
Di dalam perumpamaan ini, Yesus bercerita tentang seorang ayah yang memiliki dua anak laki-laki. Dan anak yang lebih muda meminta pembagian warisan sebelum ayahnya mati. Ia tidak sabar menunggu sampai ayahnya mati untuk dapat menikmati warisan itu. Lalu ia berkata, "Maukah engkau membagi kekayaanmu sekarang dan memberi saya bagian yang ditetapkan buat saya?" Dari sini kita dapat melihat bagaimana sikap mental dan kepribadian anak tersebut. Memang ada pengaturan di bawah hukum Yahudi bahwa jika si ayah berkenan, ia dapat membagi warisan kepada anaknya sebelum ia sendiri meninggal. Perhatikan bahwa si ayah ini tidak menegur anaknya. Ia tidak berkata, "Aku tidak mengizinkan kamu melakukan hal itu," suatu ucapan yang cenderung akan dilontarkan setiap ayah. Dan hal ini memberi kita satu pengertian tentang karakter Allah. Si ayah itu memberi anaknya bagian warisan anak itu. Tak lama kemudian, anak yang lebih muda ini memisahkan diri, sesudah menerima bagian warisan dari ayahnya. Di dalam ayat 13, perhatikan bahwa ia tidak pergi ke negeri yang dekat dengan tempat tinggal ayahnya. Ia merantau ke negeri yang sangat jauh, berharap bisa pergi dari ayahnya sejauh mungkin, karena - sebagaimana yang Anda ketahui - setiap anak cenderung ingin mandiri. Anak-anak ingin sekali melakukan segala yang mereka mau; mereka tidak ingin selalu berada di bawah pengawasan ayahnya. Jadi pergilah anak ini untuk menikmati kebebasannya.
Namun celaka sekali! Hal-hal yang gampang diraih selalu mudah pula berlalu. Si ayah mungkin harus bekerja keras untuk memperoleh kekayaan itu, namun si anak tidak akan bisa menghargai hal yang bukan hasil perjuangannya sendiri, perkara ini sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Lalu ia pergi ke negeri yang sangat jauh dan memboroskan semua kekayaannya. Pepatah mengatakan, "Gampang didapat, gampang pula habisnya". Jadi dalam waktu yang sangat singkat, karena tidak tahu bagaimana mengelola keuangannya, anak ini jatuh bangkrut.
Pada waktu itu ia mulai menyadari, bahwa untuk dapat bertahan hidup ia harus bekerja. Tiba-tiba ia tersadar bahwa hidup di dunia ini perlu bekerja. Sebelumnya, segala sesuatu yang ia nikmati adalah hasil pemberian. Sang ayah selalu mencukupi segala sesuatu buatnya. Mendadak saja sekarang ia harus bekerja. Namun ternyata ia tidak punya keterampilan yang tinggi untuk bekerja. Apa yang dapat ia lakukan? Orang yang tidak tahu bagaimana mengelola kehidupan dan keuangannya sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Akhirnya, satu-satunya tanggungjawab yang dipercayakan kepadanya adalah mengawasi babi. Ia mendapat pekerjaan sebagai pemelihara babi.
Namun ini bukan pekerjaan yang dibayar tinggi. Ia mendapati bahwa upahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehingga ia rela memakan makanan babi. Bagaimanapun juga, makanan babi tidak terlalu buruk. Kadang kala, sisa-sisa makanan yang lezat dari restoran yang mahal dikumpulkan dalam tong khusus dan diberikan kepada babi. Jadi cukup sering babi-babi menerima makanan yang lebih bergizi ketimbang manusia. Banyak orang yang hanya makan roti tawar dengan gula, selai dan bahan lain yang tidak cukup bergizi, sementara babi menikmati semua hidangan utama yang juga disajikan kepada orang kaya! Tidak heran jika anak muda ini berminat terhadap makanan babi, yang penampilannya mungkin tidak begitu menarik, namun rasanya pasti cukup lezat, percayalah.
Ketika ia sedang dalam keadaan seperti ini, ia mulai merenungkan tentang rumahnya. Kadang kala dibutuhkan satu pukulan yang keras untuk menyadarkan kita. Di dalam ayat 17 disebutkan, lalu ia menyadari keadaannya, ia mulai tersadar. Akhirnya ia terbangun. Ia mulai menyadari keadaannya.
Perhatikan bahwa saat di rumah, ayahnya memberi dia segala-galanya, namun jauh dari rumah, ia bukan siapa-siapa, dan tak ada yang peduli padanya. Ayat 16 berkata, tidak seorangpun yang memberi kepadanya. Satu-satunya orang yang peduli pada anak ini adalah ayahnya. Namun anak ini sudah mengingkari orang yang sayang padanya. Sekarang, tidak ada yang peduli padanya di tempat ini. Ketika kita mengingkari Allah, kita akan segera mendapati bahwa satu-satu-Nya pribadi yang benar-benar menyayangi kita adalah Allah. Tak seorangpun yang menyayangi kita lebih dari Allah.
Mendapati dirinya berada dalam keadaan seperti itu, ia mulai berpikir, "Pelayan ayahku yang berjumlah banyak itu semuanya bisa makan sampai puas. Sedangkan aku di sini mati kelaparan!" Dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan yang memang sudah semestinya ia lakukan, "Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku. Di sanalah satu-satunya tempat yang tersisa bagi aku."
Namun bagaimana ia bisa kembali kepada ayahnya? Ia sudah mengambil bagian warisannya. Ayahnya sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengannya. Lalu ia memikirkan dan menyusun kata-kata yang akan diucapkannya, "Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa." Ucapan ini memiliki makna yang sangat dalam. Dengan kata lain ia sedang berkata, "Aku telah berdosa kepada Allah dan juga kepadamu, bapa. Apa yang sudah kulakukan bukan sekadar merupakan kesalahan terhadapmu, tetapi juga suatu kesalahan kepada Allah. Sekarang aku memintamu untuk menerima aku, bukan sebagai anakmu karena aku tidak punya lagi hak sebagai anakmu, tapi berilah aku tempat di antara hamba-hambamu. Aku tidak tahu apakah aku boleh diterima sebagai seorang hamba. Tetapi jika engkau menganggap bahwa aku masih boleh menjadi hambamu, aku memohon Anda untuk menerima aku."
Ayah yang Berbelas Kasih
Lalu di dalam ayat 20, kita baca bahwa si ayah selama ini selalu menatapi kejauhan lewat jendela rumah menanti kepulangannya. Si ayah sudah lama menanti, dan ia tidak dikecewakan. Dari kejauhan, ia melihat sesosok tubuh yang berpakaian compang camping, berjalan gontai dan melangkah dengan lesu, dan hatinya segera diliputi oleh sukacita! Ayat 20 berkata, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Kita akan membahas kata 'belas kasihan' ini nanti. Lalu si ayah ini berlari; ia tidak sekadar berjalan. Ia tidak menunggu sampai si anak datang. Ia tidak berkata, "Saya tunggu di sini saja. Ia harus menerima pelajarannya. Ia pantas menerimanya. Ini satu pelajaran buatnya." Tidak ada pembalasan, tidak ada dendam. Si ayah berlari keluar dan memeluk anak bungsu ini. Si anak segera menyampaikan kata-kata yang sudah dirancangnya itu, "Aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa. Aku tidak layak lagi disebut anakmu. Aku tidak pantas menjadi anakmu." Namun sang ayah membalutkan pakaian terbaik buat anaknya. Dan ia memakaikan cincin di jari sang anak, dan memakaikan sepatu di kakinya, yang menunjukkan bahwa si anak ini bahkan tidak punya alas kaki lagi. Ia berjalan dengan telanjang kaki selama ini. Dan perutnya yang lapar dipuaskan dengan daging dari anak lembu yang tambun. Sukacita yang sangat besar!
Si Sulung yang Kesal
Tidak heranlah, anak yang sulung memandang semua hal ini dengan penuh rasa muak dan berpikir, "Nah, anak ini memang pantas menerima nasibnya! Si pemalas ini tidak pernah bisa diandalkan, dasar anak bengal yang manja! Ia bahkan berani melecehkan bapa dengan meminta bagian warisannya sebelum bapa meninggal! Apa ada anak yang lebih hina dari itu? Terus dia pergi jauh menghambur-hamburkan warisannya. Berfoya-foya di negeri orang, dan sekarang kembali sebagai pengemis! Tapi bapa bukannya menempatkan dia di tempat yang seharusnya. Bapa malah bersukacita untuk kepulangannya!" Si anak sulung merasa sangat muak karena tidak seperti bapanya, ia tidak memiliki belas kasihan sama sekali. Ia tidak punya rasa iba terhadap adiknya, yang sudah mendapat pelajaran dari pengalaman buruknya. Sang ayah merasa karena si bungsu ini sudah sadar dan menerima pelajarannya dari pengalaman itu, tidak usahlah kesulitan yang dihadapi itu ditambah-tambahi. Ia sudah jatuh bangkrut, telanjang kaki dan kelaparan. Perlukah anak itu direndahkan lagi untuk memastikan bahwa ia belajar dari kesalahannya? Seberapa rendah perlakuan yang mampu ia tanggung? Sang ayah menganggap bahwa itu semua sudah cukup. Akan tetapi tidak ada yang cukup bagi si anak sulung. Ia merasa bahwa yang terbaik adalah menempatkan si bungsu sejajar dengan para budak. Ia tidak berbelas kasihan.
Dan sebagai rangkuman dari perumpamaan ini, si ayah berkata, "Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali." Ini sebabnya mengapa perumpamaan ini disebut Perumpamaan tentang Anak yang Hilang.
Perumpamaan ini Semestinya disebut: Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang
Sebenarnya, saya cenderung menyebutnya sebagai Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang, yang satu tersesat lebih jauh dari yang lainnya. Atau, disebut Perumpamaan Dua Anak yang Hilang, satu telah ditemukan kembali dan yang satunya tidak pernah diselamatkan karena tidak pernah hilang.
Pertama-tama, perlu Anda cermati bahwa keseluruhan isi Alkitab bercerita tentang anak-anak yang hilang. Isi beritanya selalu adalah tentang anak yang hilang. Manusia pertama, Adam, tersesat dan hilang, dan Adam disebut sebagai seorang 'anak Allah' di dalam Lukas 3:38. Yaitu, asal muasalnya, keberadaan dan segala miliknya bersumber dari Allah. Adam adalah anak Allah dan Adam sudah hilang.
Kata 'anak' memiliki makna yang luas di dalam Alkitab. Para malaikat Allah di dalam Perjanjian Lama juga disebut sebagai 'anak-anak Allah', sebagai contoh di dalam Ayub 1:6, 2:1, 38:7. Mereka adalah anak-anak dalam kedudukan yang berbeda, kedekatan yang berbeda terhadap Allah. Namun, bahkan para malaikat juga bisa terhilang. Perhatikan contoh di dalam surat Yudas ayat 6, di situ disebutkan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar.
Kunci Pemahaman Perumpamaan ini: Menjadi Anak bukan Jaminan Anda Tidak akan Hilang
Ada satu pandangan yang beredar luas di kalangan orang Kristen sekarang ini, bahwa kedudukan sebagai anak merupakan jaminan keselamatan. Apa dasar jaminan keselamatan seorang Kristen? "Aku adalah anak". Dan banyak sekali orang yang berkata, "Sekali menjadi anak akan selamanya menjadi anak." Benar, 'sekali menjadi anak memang akan selamanya menjadi anak," tetapi apa artinya itu? Sejauh yang berhubungan dengan Kitab Suci, tidak ada makna jaminan keselamatan sama sekali. Seperti yang sudah kita lihat, Alkitab selalu bercerita tentang anak yang hilang. Menjadi seorang anak bukanlah jaminan bahwa Anda tidak akan terhilang, dan inilah poin utama dari Perumpamaan tentang Anak yang Hilang itu.
Jika Anda seorang Kristen, jangan mendasarkan keamanan rohani Anda pada anggapan bahwa Anda adalah anak dan dengan demikian Anda pasti akan baik-baik saja, jadi Anda boleh berbuat dosa sebanyak yang Anda mau. Anda boleh meninggalkan Allah dan masih diselamatkan juga pada akhirnya. Itulah pengajaran yang banyak diberikan oleh sebagian besar Gereja sekarang. Namun saya beritahu, ini adalah ajaran sesat, berdasarkan Firman Allah; ini bukanlah ajaran yang alkitabiah. Jangan membangun kehidupan rohani Anda di atas dasar yang salah. Mungkin terasa nyaman, menentramkan, namun tetap saja salah.
Pernah ada orang yang berkata kepada saya, "Sekalipun orang-orang Kristen mungkin berpaling dari Allah, mungkin berbuat dosa, melakukan berbagai pelanggaran, mereka tetap akan diselamatkan."
Saya bertanya, "Adakah dasar dari Firman Allah untuk hal itu?"
Jawabnya, "Sangat mudah! Kita adalah anak-anak Allah, dan jika sudah menjadi anak, maka selamanya akan tetap sebagai anak."
Menyedihkan sekali! Membangun anggapan tentang jaminan keselamatan seperti itu sangatlah membinasakan! Belum pernahkah Anda membaca Alkitab? Alkitab berbicara tentang anak-anak yang hilang. Adam terhilang. Dia adalah anak. Bangsa Israel terhilang. Mereka juga adalah anak-anak. Para malaikat adalah anak-anak Allah tetapi mereka juga ada yang hilang. Apakah Anda akan mendasarkan rasa aman Anda hanya dengan kata-kata, "Aku adalah anak"?
Saya tidak seketikapun menyangkal betapa luar biasanya menjadi seorang anak Allah! Dan kita adalah anak-anak Allah dalam beberapa pengertian. Sebagai contoh, makna dari ungkapan 'anak Allah' yang memiliki jangkauan yang luas, di dalam Kisah 17:28 di mana Paulus mengutip salah satu pujangga Yunani yang mengatakan bahwa kita ini dari keturunan Allah juga. Di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada. Ada cakupan makna yang luas di mana Allah menjadi Bapa dan kita, umat manusia, adalah makhluk dengan keberadaan yang berasal dari Dia. Sama seperti keberadaan kita yang berasal dari orang tua kita, di balik itu, Allahlah yang menjadi sumber keberadaan kita sesungguhnya. Allah adalah bapa di dalam pengertian cakupan yang sangat luas itu. Dan cara pandang ini juga diterima oleh Alkitab. Akan tetapi ada pengertian yang lebih dipersempit lagi. Sama seperti di dalam setiap keluarga, beberapa anak memiliki kedekatan yang lebih akrab dengan ayah mereka ketimbang anak yang lainnya. Hal ini terjadi juga di dalam kehidupan rohani, beberapa anak memiliki hubungan lebih akrab dengan Allah, dengan Bapa, ketimbang anak yang lainnya.
Di samping itu, ada lagi pengertian yang lebih khusus sifatnya yaitu kita menjadi anak karena Allah mengangkat kita sebagai anak-Nya. Paulus berkata bahwa kita telah menerima Roh yang menjadikan kita anak Allah di Roma 8:15. Dengan demikian, kita menjadi anak karena pengangkatan; dan juga menjadi anak karena kelahiran baru.
Yesus juga adalah Anak, akan tetapi tentulah kita bukanlah anak dengan pengertian yang sama dengan Yesus sebagai Anak Allah. Dan Anda akan melihat betapa keberadaan-Nya sebagai Anak sungguh berbeda dengan keberadaan kita sebagai anak. Keberadaan Dia sebagai Anak lebih bersifat esensial. Yesus memiliki natur yang sama dengan Bapa. Sedangkan kita tidak dari natur yang sama dengan Allah. Kita adalah manusia, tetapi Yesus adalah keduanya, Ilahi dan juga manusia. Dari sini kita dapat melihat bahwa Alkitab memakai kata 'anak' dengan pengertian yang sangat luas.
Tetapi cukup untuk dikatakan di titik ini, bahwa tidak kira dalam pengertian apa pun, Anda tidak dapat berkata, "Aku aman karena aku adalah anak." Saya sedih melihat begitu banyak orang Kristen yang diajari bahwa kualitas kehidupan yang mereka jalani tidaklah penting. Tidak masalah apakah mereka kudus atau tidak. Tidak masalah apakah mereka berbuat dosa atau tidak.
Kenyataannya, pernah saya menanyakan salah satu dari orang Kristen itu, "Katakan pada saya, berdasarkan doktrin yang Anda yakini - tidak tahu dari mana asalnya, jika seorang Kristen melakukan pembunuhan dan tidak bertobat, apakah ia tetap akan diselamatkan? Ya atau tidak?"
Dan tahukah Anda apa jawabannya? Dia berkata, "Ya." Berdasarkan teori 'sekali selamat tetap selamat', Anda tentu saja akan tetap diselamatkan biarpun sudah melakukan pembunuhan. Tidak ada hal yang dapat Anda lakukan untuk tidak diselamatkan.
Saya berkata, "Jadi jika seorang yang bukan Kristen melakukan, katakanlah, sebuah dosa kecil seperti mencuri, apakah ia harus masuk ke neraka sementara orang Kristen yang membunuh dan tidak bertobat akan tetap diselamatkan? Doktrin macam apa yang Anda ajarkan ini? Dari bagian Alkitab yang mana Anda menemukan ajaran ini?" Kesalahan itu datang dari penalaran yang salah bahwa 'sekali anak tetap anak.' Mereka lupa bahwa Anda bisa saja menjadi anak namun tetap hilang. Dan hal ini adalah jauh lebih tragis ketimbang tidak pernah menjadi anak sama sekali.
Perumpamaan ini Berbicara tentang Anak yang Hilang dan Diselamatkan karena Bertobat
Saya harap Anda mau memikirkan hal ini dengan sangat hati-hati. Saya ulangi sekali lagi: Alkitab adalah sebuah Kitab tentang anak-anak yang hilang. Ini adalah kisah yang tragis. Dan apakah Anda pikir anak yang bungsu itu akan diselamatkan jika ia tidak bertobat? Perumpamaan ini bercerita tentang anak yang hilang dan diselamatkan bukan karena ia adalah seorang anak, tetapi karena ia bertobat. Keberadaan sebagai anak tidak ada artiya buat dia, jika ia tidak bertobat. Jika ia bisa diselamatkan tanpa harus bertobat, maka kita tidak membutuhkan perumpamaan ini. Poin pokok dalam perumpamaan ini adalah bahwa ia diselamatkan karena ia bertobat.
Lalu bagaimana dengan si sulung? Ia juga disebut anak. Tahukah Anda siapa yang diwakili oleh si sulung ini? Jika Anda memperhatikan dengan teliti perumpamaan-perumpamaan dari Yesus, beberapa dari antaranya bercerita tentang dua anak. Anak yang sulung selalu dihubungkan dengan para ahli kitab dan orang-orang Farisi sementara yang bungsu dikaitkan dengan orang-orang berdosa dan pemungut cukai. Ini adalah dua kelompok utama umat di Israel: para ahli kitab dan orang-orang Farisi di satu pihak, dan orang-orang berdosa serta pemungut cukai di pihak lannya. Mereka itulah dua anak ini. Itu sebabnya Yesus berkata kepada orang-orang Farisi dan ahli kitab, "Orang-orang berdosa dan pemungut cukai akan masuk ke dalam kerajaan Allah tanpa kalian, karena mereka akan bertobat. Tetapi kalian akan tertinggal di luar. Saat itulah kalian akan meratap dan menggertakkan gigi." Tidak ada orang yang diselamatkan tanpa pertobatan. Tidak ada ajaran alkitabiah yang mengatakan bahwa setiap orang akan diselamatkan tanpa pertobatan.
Jangan Terlalu Yakin bahwa Anda adalah Anak!
Itu sebabnya mengapa Yohanes Pembaptis, nabi besar Allah, berkata, "Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!" (Mat.3:8-9). Namun orang-orang Yahudi, seperti juga orang-orang Kristen, mendasarkan keyakinan mereka pada keberadaan sebagai anak: "Kami adalah umat yang terpilih. Kami telah dipilih oleh Allah." Benar, itu semua karena anugerah, akan tetapi anugerah juga bisa menyebabkan kita menjadi sombong. Lagi pula, oleh kasih karunia, Ia telah memilih saya, dan bukan Anda. Ia telah memilih kami, bukan kalian. Ini adalah awal suatu kesombongan. Saya mau tunjukkan kepada anda bahwa dengan sikap seperti itu berarti Anda masih belum memahami pengajaran yang alkitabiah tentang hal menjadi anak. Dan itu sebabnya mengapa di dalam Yohanes 8:41 orang-orang Yahudi berkata kepada Tuhan, "Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah," dengan kata lain, "Kami para anak." Benar sekali, mereka memang para anak, akan tetapi Tuhan Yesus berkata di ayat 44, "Iblislah yang menjadi bapamu." Apakah anak-anak Abraham berasal dari iblis? Bukan, anak-anak Abraham adalah anak-anak perjanjian! Tuhan Yesus berkata, "Dari buahmulah terlihat bahwa kalian tidak lain adalah anak-anak iblis." Ini bukan suatu pernyataan yang bermaksud menghina. Ini adalah diagnosa tentang keadaan rohani mereka. Tidak, kita tidak boleh mendasarkan keyakinan kita pada fakta bahwa kita telah dipilih untuk menjadi anak. Mari kita ingat poin ini baik-baik.
Sangatlah penting bagi kita untuk tidak disesatkan oleh pengajaran palsu di zaman sekarang ini. Dapat saya katakan bahwa mayoritas pengajaran di Gereja sekarang ini mencoba untuk mengatakan kepada Anda bahwa yang perlu Anda lakukan adalah menjadi anak. Saudara-saudaraku, menjadi anak adalah hal yang penting. Itu adalah langkah pertama. Namun jangan membayangkan bahwa kedudukan sebagai anak adalah dasar dari jaminan keselamatan. Tidak ada dasar alkitabiah bagi hal itu karena seiring dengan penghargaan itu datang pula suatu tanggungjawab. Semakin banyak Anda menerima, semakin banyak Allah menuntut dari Anda. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari Anda karena Anda adalah seorang anak. Dan itulah yang Ia katakan kaum Israel, "Karena engkaulah, dan hanya engkaulah, umat yang Kupilih di atas bumi ini, maka Aku akan menghakimi engkau" (Ul.7:6-7; Yeh.18:30). Itulah dasar dari penghakiman-Nya.
Ingatlah selalu bahwa perumpamaan ini tidak berkisah tentang orang tidak percaya yang tersesat, melainkan tentang anak yang hilang. Camkanlah hal ini baik-baik. Dan di dalam perumpamaan ini, anak-anak tersebut bahkan merujuk kepada kelompok-kelompok yang ada dalam kalangan umat Yahudi: di satu pihak, orang-orang Farisi beserta para ahli kitab, dan di pihak lain adalah para pemungut cukai dan orang-orang berdosa.
Jaminan kita Hanya ada di dalam Allah, Bapa kita yang Penuh Belas kasih
Kita akan masuk ke dalam poin yang terakhir walaupun masih ada banyak kekayaan makna di dalam perumpamaan ini yang dapat kita gali. Poin ini dapat diilustrasikan dengan memakai pengalaman saya di dalam kamp tahanan kaum Komunis itu. Sesudah Allah menempatkan saya di tempat yang sangat rendah seperti itulah baru saya siap untuk bertemu dengan-Nya. Bagaimana menurut Anda jika si bungsu ini, ketika ia sedang duduk di antara babi-babi, berkata pada dirinya sendiri, "Nah, saya ini masih seorang anak! Jika saya menuntut ke pengadilan, mungkinkah dia akan menyangkal bahwa ia adalah ayah saya dan saya adalah anaknya?" Anggaplah ia memutuskan, "Saya akan pulang dan berkata, "Sudahlah bapa, bagaimanapun juga saya ini kan anakmu. Engkau tahu siapa saya, bukankah begitu? Sekarang ini saya terlihat lusuh, tetapi nama keluarga saya masih Chang, bukankah begitu? Engkau adalah ayah saya dan engkau tidak mungkin dapat menyangkal hal itu. Ini akte kelahiran saya. Semua keterangan ada di sana."" Menurut Anda, apa yang akan terjadi dengan si bungsu ini?
Saya lihat ada begitu banyak orang Kristen yang berperilaku seperti ini. Mereka berpikir bahwa pada Hari itu, mereka akan datang menghadap kepada bapa dan berkata, "Lihat, ini surat baptis saya, saya dibaptis di sebuah gereja yang sangat bagus, Gereja Injil di Montreal (Kanada). Tempat yang cukup layak untuk beribadah. Lihatlah keterangan di dalam surat itu. Ini tanda tangan pendetanya. Sekalipun mungkin engkau tidak bisa membaca, tentunya engkau tahu bahwa itu adalah tanda tangan. Ini surat resmi. Jadi, sekarang saya datang. Saya mau mengklaim keselamatan saya! Saya memang tidak menjalani hidup selayaknya sebagai orang Kristen. Cukup banyak dosa yang saya perbuat. Cukup banyak tindakan ngawur yang saya lakukan. Bahkan mungkin kualitas kehidupan rohani saya sebagai orang Kristen masih di bawah kualitas kehidupan orang yang non-Kristen. Tapi saya punya surat baptis. Saya adalah seorang anak!"
Dan orang-orang yang malang itu mengira bahwa Allah akan berkata, "Oh, mari sini anakKu! Baiklah, karena kamu punya surat baptis, Aku terima kamu sebagai anak dan engkau boleh kembali ke rumah."
Seperti kebanyakan pengalaman orang-orang Kristen pada hari itu, Anda juga akan sangat terkejut! Jika Anda mendasarkan keselamatan Anda pada klaim anda sebagai anak, tamatlah riwayat Anda! Ini bukan untuk menakut-nakuti.
Kita berbicara tentang keberadaan sebagai anak di dalam perumpamaan ini. Si anak bungsu baru menjadi layak sebagai anak justru saat ia menyadari bahwa ia tidak layak untuk menjadi anak. Si bungsu ini menjadi anak seutuhnya baru pada saat ia menyadari bahwa ia sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk menjadi anak. Ini adalah perbedaan yang mendasar antara si bungsu dan si sulung, anak namun belum menjadi anak. Ini adalah poin yang harus kita pegang dan pahami secara mendalam. Ketika si bungsu membatin, "Aku akan berkata kepada bapa, 'Saya tidak layak menjadi anakmu. Berilah saya tempat di antara para hambamu,'" saat itulah ia berada dalam keadaan yang layak menerima anugerah. Anugerah bukanlah anugerah jika Anda dapat menuntut pemenuhannya. Waspadalah terhadap setiap doktrin atau pengajaran yang mendorong Anda untuk berpikir bahwa pada Hari Penghakiman nanti Anda berhak untuk menuntut keselamatan bagi Anda, bahwa Anda berhak untuk memperolehnya atas dasar suatu tanggal dan bulan anda percaya. Setiap orang yang berpikir seperti itu akan segera mendapatkan kejutan besar. Hanya ada satu macam orang yang akan mendapatkan warisan, yaitu orang miskin. "Berbahagialah orang yang miskin." Mereka tidak memiliki hak; dan mereka tidak menuntut hak apapun. Mereka hanya datang dalam kerendahan hati dan bertobat.
Saya beritahu Anda bahwa saya akan menjadi orang yang sangat bodoh jika saya menghadap kepada Allah di Hari Penghakiman itu dan berkata, "Lihat, saya seorang pendeta. Saya sudah memberitakan Injil selama bertahun-tahun! Saya berkhotbah di dalam banyak seminar dan KKR. Lihat saja betapa banyak peserta yang hadir di sana, mereka semua tahu bahwa saya memberitakan Injil, bukankah begitu? Saya adalah seorang Kristen, dan bukan hanya itu, saya seorang pendeta! Jadi kalau ada orang yang berhak masuk ke dalam kerajaan Allah, sayalah orang itu! Perintahkanlah para malaikat untuk meniupkan terompet menyambut saya!" Saya beritahu Anda, jika saya datang kepada Allah dengan cara seperti ini, Ia sama sekali tidak akan ada waktu untuk saya.
Pada Hari itu, saat saya datang kepada Allah, saya akan berkata, "Tuhan, saya tidak punya apa-apa yang dapat saya persembahkan padaMu. Saya tidak mempunyai klaim apapun. Kiranya Kau berkenan menerima saya sebagai hambaMu. Saya sudah mengusahakan apa yang dapat saya lakukan. Pekerjaan saya sungguh tidak berarti sekalipun itu sudah saya lakukan dengan segenap kemampuan saya di dalam kasih karuniaMu. Karena keterbatasan saya, hasilnya memang tidak memadai. Saya sungguh memohon kiranya Engkau mau menempatkan saya di antara para hambaMu." Hanya sikap hati seperti itu yang dicari oleh Allah. Ia tidak punya waktu untuk berurusan dengan orang-orang yang angkuh dan meninggikan diri. Dan jika Anda pernah menerima doktrin atau ajaran yang menempatkan Anda di dalam semacam 'jaminan' seperti itu, lupakan saja! Tidak ada landasan alkitabiah yang meneguhkan ajaran itu. Seperti yang diceritakan oleh Yesus, anak ini diterima karena ia pulang kepada ayahnya, memohon untuk boleh diterima sebagai hamba atau budak. Ingatlah hal itu baik-baik. Camkanlah hal ini baik-baik.
Saya berdoa agar Anda dapat mempelajari sikap ini karena inilah kunci pemahaman seluruh perumpamaan ini. Jika Anda mencari sesuatu pelajaran dari peerumpamaan ini, maka poin inilah hal utama yang disampaikan oleh perumpamaan ini. Bukan sekadar kepulangan si anak bungsu yang diceritakan. Yang terpenting adalah dengan cara bagaimana si bungsu ini pulang. Yang terpenting adalah perubahan besar yang sudah terjadi di dalam sikap si anak bungsu itu.
Rasul Tuhan yang besar, Paulus, bermegah hanya dalam satu gelar saja, yaitu "hamba atau budak Yesus Kristus." Ia tidak menuntut kehormatan yang lebih tinggi ketimbang sekadar sebagai seorang budak Yesus. Pada zamannya, seorang pekerja dengan upah harian masih berkedudukan lebih tinggi dari pada seorang budak. Seorang pekerja harian mempunyai sedikit kemerdekaan, hal yang tidak dimiliki oleh seorang budak. Paulus hanya berkeinginan untuk dapat diterima sebagai salah satu budak Yesus Kristus. Paulus tidak bermegah atas keberadaannya sebagai anak. Ia menyatakan dengan sangat tegas, "Memang benar, kita menantikan pengangkatan sebagai anak. Namun di atas segalanya, saya bermegah hanya atas kesempatan istimewa menjadi seorang hamba atau budak Yesus Kristus."
Seorang hamba atau budak tidak menerima penghargaan atau balas jasa setelah ia melakukan segala sesuatu. Ia sekadar dipandang telah menjalankan tugasnya. Pernahkah Anda melihat ada budak yang datang kepada majikannya dan berkata, "Lihat, perhatikan prestasi saya"? Apapun yang sudah Anda kerjakan bagi Tuhan, tidak peduli sebesar apapun prestasi Anda, tidak lebih dari sekadar menunaikan apa yang memang sudah seharusnya Anda kerjakan.
Inilah arti dari 'keselamatan oleh anugerah'. Anugerah berarti "Tidak ada satu hal pun yang layak untuk saya banggakan. Saya tidak menuntut apa-apa, saya tidak membanggakan keberadaan sebagai anak yang telah diberikan kepada saya." Hal yang paling berbahaya adalah membanggakan anugerah seolah-olah anugerah itu merupakan hak Anda. Mari saya ingatkan bahwa, di dalam pengajaran yang alkitabiah, segala sesuatu yang dilandasi oleh hak bukanlah anugerah. Segala sesuatu yang menjadi hak Anda pasti berasal dari hasil usaha Anda sendiri. Segala sesuatu yang berasal dari anugerah tidak pernah merupakan hasil perjuangan. Jika kita menjadi anak, hal itu terjadi bukan karena kita memiliki hak atas hal itu. Dan sekalipun saya adalah anak, saya tidak dapat mengklaim keberadaan saya sebagai anak sebagai satu hak karena hal itu selalunya merupakan anugerah, dan anugerah tidak pernah dilandasi oleh hak.
Pada Hari itu, saya akan datang kepada Allah bukan sebagai orang penting, namun sebagai seorang berdosa yang telah bertobat yang diselamatkan oleh anugerah. Dan saya akan menghadap Allah Bapa dan berkata, "Inilah saya, dengan penuh sukacita menerima dan terus menerima anugerahMu." Dan saya memiliki keyakinan itu bukan karena saya adalah anak, melainkan karena belas kasih-Nya. Keyakinan itu tidak berdasarkan kedudukan saya, sebagai anak atau apapun itu, tetapi berdasarkan pada siapa Allah itu - Bapa yang penuh dengan belas kasihan.
Akan tetapi Dia tidak akan berbelas kasih kepada orang-orang yang tinggi hati, orang-orang yang membanggakan kedudukan mereka sebagai anak seolah-olah hal itu merupakan hak yang dapat mereka klaim. Orang-orang ini masih belum memahami apa arti keberadaan sebagai anak. Akan tetapi Gereja di zaman sekarang ini dipenuhi oleh orang-orang Kristen yang berkata, "Saya pasti selamat karena saya adalah anak Allah." Anda baru bisa hidup dan berlaku seperti seorang anak jika Anda menjalani hidup dan berperilaku seperti seorang yang sadar bahwa Anda tidak layak bahkan untuk berada di antara para pekerja harian apa lagi kelayakan untuk menjadi anak. Semoga Anda dapat memahami hal itu.
Kiranya Allah menganugerahkan kesempatan bagi kita untuk bisa kembali kepada-Nya dalam pertobatan, hari demi hari. Semoga saya bisa menjalankan hal ini setiap hari sehingga jika Hari itu tiba, saya dapat datang menghadap kepada-Nya di dalam jaminan kepastian iman, dalam belas kasih-Nya kepada orang-orang yang bertobat dan rendah hati. Inilah jaminan kepastian kita: Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang (Yoh.6:37). Inilah jaminan keselamatan saya, bukan didasarkan saya ini penting, saya adalah anak Allah. Jangan pernah mendasarkan jaminan keselamatan Anda kepada segala sesuatu yang lain selain Allah.
Source:
http://www.cahayapengharapan.org/khotbah/perumpamaan/texts/094b_perumpamaan_tentang_dua_anak_yang_hilang.htm