Monday, March 26, 2012

3 Cara Menghadapi Badai Kehidupan



Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya? Markus 4:36-40
 
Kejadian yang dialami oleh murid-murid Yesus di atas merupakan gambaran mengenai badai yang sering kita alami dalam kehidupan kita. Dalam menyeberangi lautan kehidupan tidak selamanya kita menghadapi cuaca yang cerah. Ada kalanya badai datang menerpa hidup kita. Dan sebagaimana yang dialami oleh murid-murid Yesus, badai yang datang merupakan suatu hal yang dapat membuat kita semua gentar dan goyah dalam iman kita. Dari kisah di atas ada beberapa cara yang dapat kita lakukan agar kita tetap kuat dalam menghadapi badai kehidupan

Berikut 3 cara untuk menghadapinya :

1. Datang pada Yesus
Ketika badai datang menerpa dan perahu mulai dimasuki air, hal yang pertama mereka lakukan bukanlah keluar dari perahu dan terjun ke air, tetapi mereka mencari Yesus!
Anda dapat bayangkan apa yang terjadi jika mereka keluar dari perahu? Begitu juga dengan hidup kita jika menghadapi suatu masalah. Kita tidak boleh lari atau meninggalkan masalah yang kita hadapi, karena jika demikian kita akan keluar dari rencana Allah. Cari Yesus untuk mendapat jawaban atas masalah kita. Datang pada Yesus. Jangan cari orang lain atau bahkan mencari pendeta untuk menyelesaikan masalah kita. Bukan berarti mencari pendeta itu salah, tetapi Tuhan menginginkan kita memprioritaskan Dia dalam kehidupan kita. Hanya Yesus yang sanggup memberikan jawaban. Dan Dia hanya sejauh doa. Datang padaNya, berdoa untuk masalah Anda.

Ketika murid-murid Yesus datang mencari Dia, kita melihat apa yang terjadi selanjutnya, Yesus mengambil alih seluruh keadaan yang terjadi. Hanya dengan sepatah kata saja, maka badai itu-pun reda.

Ketika kita datang mencari Yesus, Dia akan turun tangan mengambil alih seluruh masalah kita. Dia akan memberikan jalan keluar bagi kita.


2. Bangkitkan roh-mu
Badai yang menerpa perahu Yesus dan murid-muridNya membuat murid-muridNya sangat ketakutan. Dalam Mazmur pasal 42 dan 43 juga menceritakan kondisi pemazmur yang sedang dalam keadaan yang sangat mencekam, dikejar-kejar oleh musuhnya, sama seperti badai yang menakutkan yang dialami murid-murid Yesus. 

Pemazmur mengatakan kepada jiwanya untuk tidak gelisah dan berharap kepada Allah (Maz 42:6, 42:12, 43:5). Dalam 2 Kor 4:16 Rasul Paulus juga menyatakan bahwa kita ini terdiri dari manusia lahiriah dan manusia batiniah. Dan Paulus juga menyatakan bahwa meskipun manusia lahiriahnya merosot, manusia batiniah-nya semakin dibaharui dari hari ke hari.

Manusia batiniah/roh kita harus senantiasa lebih kuat dibanding manusia jasmani kita. Roh kita harus juga lebih kuat dibanding dengan jiwa kita.

Jiwa manusia yang terdiri dari pikiran, perasaan dan kehendak, mudah sekali terpengaruh oleh keadaan sekitar. Ketika masalah dan problema datang, jiwa manusia akan berusaha mencari jalan keluar untuk masalah tersebut. Tetapi ketika masalah begitu berat dan tidak dapat menemukan jalan keluar, maka jiwa manusia dapat terganggu, manusia menjadi kuatir, takut, stress, dan lain-lain.

Sebagai umat Tuhan, kita harus senantiasa membangun manusia roh kita, yaitu dengan membaca firmanNya, rajin berdoa, ikut persekutuan dan lain-lain. Dengan membangkitkan roh kita, maka secara tidak langsung roh kita yang kuat akan mempengaruhi jiwa kita. Sehingga seperti yang pemazmur katakan kepada jiwanya untuk berharap pada Allah, maka roh kita pun juga akan berbuat demikian juga.

Ketika masalah datang dengan begitu bertubi-tubi, maka yang harus kita lakukan adalah membangkitkan roh kita agar dapat menghadapi masalah dengan hati yang kuat.


3. Gali potensi diri
Murid-murid Yesus mempunyai potensi yang luar biasa. Kita lihat dalam Kisah Para Rasul bagaimana mereka “menjungkir-balikkan” dunia ini dengan kuasa dan mujizat Allah. Itu terjadi ketika kuasa Roh Kudus telah turun ke atas mereka (Kis 1:8). 

Ketika badai menerpa perahu mereka pada saat itu, Yesus bertanya kepada murid-muridNya: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” Mrk 4: 40. Yesus mencoba membantu murid-muridNya untuk mengenali potensi yang sebenarnya ada dalam diri mereka. Yesus tahu bahwa murid-muridNya sanggup untuk menghadapi masalah seberat apapun. Dan bahkan mereka mampu memiliki iman yang mengalahkan dunia.

Kuasa yang sama yang turun ke atas murid-murid Yesus juga telah dicurahkan bagi setiap kita yang percaya kepadaNya. Dan Tuhan mau agar kita semua menyadari bahwa ada potensi yang luar biasa yang ada dalam setiap umatNya. Mungkin saat ini kita tidak menyadari potensi tersebut. Tetapi ketika kita mencoba mengenali potensi diri kita dan kita menggali potensi tersebut, maka kita akan melihat bahwa Tuhan sedang memproses dan ingin memakai diri kita dengan luar biasa.

Anda pasti tahu bahwa sebuah batu berlian yang indah dan mahal harganya adalah dibentuk dan diproses dari sebuah batu yang terpendam yang pada mulanya tidak memiliki nilai dan bahkan jauh dari indah. Demikian juga dengan kita semua, kita semua bagaikan berlian yang ketika digali dan diproses akan menjadi individu yang memiliki potensi yang luar biasa. Tanpa disadari kita akan melakukan perbuatan-perbuatan yang lebih besar dari yang pernah Dia lakukan (Yoh 14:12).

Masalah apapun yang kita hadapi, biarlah itu menjadi pemicu bagi hidup kita, bahwa Tuhan ingin agar kita dapat mengembangkan kapasitas hidup kita. Dia ingin agar kita dapat menjadi individu yang lebih tangguh untuk melakukan rencanaNya yang besar dalam hidup kita.


Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” 1 Kor 10:13



Source :
 http://www.pelitahidup.com/2008/06/02/3-cara-menghadapi-badai-kehidupan

Monday, March 12, 2012

Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang


 Lukas 15:11-32 - Disampaikan oleh Pendeta Eric Chang, Montreal

Isi Cerita tentang Anak yang Hilang
Di dalam perumpamaan ini, Yesus bercerita tentang seorang ayah yang memiliki dua anak laki-laki. Dan anak yang lebih muda meminta pembagian warisan sebelum ayahnya mati. Ia tidak sabar menunggu sampai ayahnya mati untuk dapat menikmati warisan itu. Lalu ia berkata, "Maukah engkau membagi kekayaanmu sekarang dan memberi saya bagian yang ditetapkan buat saya?" Dari sini kita dapat melihat bagaimana sikap mental dan kepribadian anak tersebut. Memang ada pengaturan di bawah hukum Yahudi bahwa jika si ayah berkenan, ia dapat membagi warisan kepada anaknya sebelum ia sendiri meninggal. Perhatikan bahwa si ayah ini tidak menegur anaknya. Ia tidak berkata, "Aku tidak mengizinkan kamu melakukan hal itu," suatu ucapan yang cenderung akan dilontarkan setiap ayah. Dan hal ini memberi kita satu pengertian tentang karakter Allah. Si ayah itu memberi anaknya bagian warisan anak itu. Tak lama kemudian, anak yang lebih muda ini memisahkan diri, sesudah menerima bagian warisan dari ayahnya. Di dalam ayat 13, perhatikan bahwa ia tidak pergi ke negeri yang dekat dengan tempat tinggal ayahnya. Ia merantau ke negeri yang sangat jauh, berharap bisa pergi dari ayahnya sejauh mungkin, karena - sebagaimana yang Anda ketahui - setiap anak cenderung ingin mandiri. Anak-anak ingin sekali melakukan segala yang mereka mau; mereka tidak ingin selalu berada di bawah pengawasan ayahnya. Jadi pergilah anak ini untuk menikmati kebebasannya.
Namun celaka sekali! Hal-hal yang gampang diraih selalu mudah pula berlalu. Si ayah mungkin harus bekerja keras untuk memperoleh kekayaan itu, namun si anak tidak akan bisa menghargai hal yang bukan hasil perjuangannya sendiri, perkara ini sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Lalu ia pergi ke negeri yang sangat jauh dan memboroskan semua kekayaannya. Pepatah mengatakan, "Gampang didapat, gampang pula habisnya". Jadi dalam waktu yang sangat singkat, karena tidak tahu bagaimana mengelola keuangannya, anak ini jatuh bangkrut.

Pada waktu itu ia mulai menyadari, bahwa untuk dapat bertahan hidup ia harus bekerja. Tiba-tiba ia tersadar bahwa hidup di dunia ini perlu bekerja. Sebelumnya, segala sesuatu yang ia nikmati adalah hasil pemberian. Sang ayah selalu mencukupi segala sesuatu buatnya. Mendadak saja sekarang ia harus bekerja. Namun ternyata ia tidak punya keterampilan yang tinggi untuk bekerja. Apa yang dapat ia lakukan? Orang yang tidak tahu bagaimana mengelola kehidupan dan keuangannya sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Akhirnya, satu-satunya tanggungjawab yang dipercayakan kepadanya adalah mengawasi babi. Ia mendapat pekerjaan sebagai pemelihara babi.

Namun ini bukan pekerjaan yang dibayar tinggi. Ia mendapati bahwa upahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehingga ia rela memakan makanan babi. Bagaimanapun juga, makanan babi tidak terlalu buruk. Kadang kala, sisa-sisa makanan yang lezat dari restoran yang mahal dikumpulkan dalam tong khusus dan diberikan kepada babi. Jadi cukup sering babi-babi menerima makanan yang lebih bergizi ketimbang manusia. Banyak orang yang hanya makan roti tawar dengan gula, selai dan bahan lain yang tidak cukup bergizi, sementara babi menikmati semua hidangan utama yang juga disajikan kepada orang kaya! Tidak heran jika anak muda ini berminat terhadap makanan babi, yang penampilannya mungkin tidak begitu menarik, namun rasanya pasti cukup lezat, percayalah.
Ketika ia sedang dalam keadaan seperti ini, ia mulai merenungkan tentang rumahnya. Kadang kala dibutuhkan satu pukulan yang keras untuk menyadarkan kita. Di dalam ayat 17 disebutkan, lalu ia menyadari keadaannya, ia mulai tersadar. Akhirnya ia terbangun. Ia mulai menyadari keadaannya.
Perhatikan bahwa saat di rumah, ayahnya memberi dia segala-galanya, namun jauh dari rumah, ia bukan siapa-siapa, dan tak ada yang peduli padanya. Ayat 16 berkata, tidak seorangpun yang memberi kepadanya. Satu-satunya orang yang peduli pada anak ini adalah ayahnya. Namun anak ini sudah mengingkari orang yang sayang padanya. Sekarang, tidak ada yang peduli padanya di tempat ini. Ketika kita mengingkari Allah, kita akan segera mendapati bahwa satu-satu-Nya pribadi yang benar-benar menyayangi kita adalah Allah. Tak seorangpun yang menyayangi kita lebih dari Allah.

Mendapati dirinya berada dalam keadaan seperti itu, ia mulai berpikir, "Pelayan ayahku yang berjumlah banyak itu semuanya bisa makan sampai puas. Sedangkan aku di sini mati kelaparan!" Dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan yang memang sudah semestinya ia lakukan, "Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku. Di sanalah satu-satunya tempat yang tersisa bagi aku."
Namun bagaimana ia bisa kembali kepada ayahnya? Ia sudah mengambil bagian warisannya. Ayahnya sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengannya. Lalu ia memikirkan dan menyusun kata-kata yang akan diucapkannya, "Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa." Ucapan ini memiliki makna yang sangat dalam. Dengan kata lain ia sedang berkata, "Aku telah berdosa kepada Allah dan juga kepadamu, bapa. Apa yang sudah kulakukan bukan sekadar merupakan kesalahan terhadapmu, tetapi juga suatu kesalahan kepada Allah. Sekarang aku memintamu untuk menerima aku, bukan sebagai anakmu karena aku tidak punya lagi hak sebagai anakmu, tapi berilah aku tempat di antara hamba-hambamu. Aku tidak tahu apakah aku boleh diterima sebagai seorang hamba. Tetapi jika engkau menganggap bahwa aku masih boleh menjadi hambamu, aku memohon Anda untuk menerima aku."


Ayah yang Berbelas Kasih
Lalu di dalam ayat 20, kita baca bahwa si ayah selama ini selalu menatapi kejauhan lewat jendela rumah menanti kepulangannya. Si ayah sudah lama menanti, dan ia tidak dikecewakan. Dari kejauhan, ia melihat sesosok tubuh yang berpakaian compang camping, berjalan gontai dan melangkah dengan lesu, dan hatinya segera diliputi oleh sukacita! Ayat 20 berkata, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Kita akan membahas kata 'belas kasihan' ini nanti. Lalu si ayah ini berlari; ia tidak sekadar berjalan. Ia tidak menunggu sampai si anak datang. Ia tidak berkata, "Saya tunggu di sini saja. Ia harus menerima pelajarannya. Ia pantas menerimanya. Ini satu pelajaran buatnya." Tidak ada pembalasan, tidak ada dendam. Si ayah berlari keluar dan memeluk anak bungsu ini. Si anak segera menyampaikan kata-kata yang sudah dirancangnya itu, "Aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa. Aku tidak layak lagi disebut anakmu. Aku tidak pantas menjadi anakmu." Namun sang ayah membalutkan pakaian terbaik buat anaknya. Dan ia memakaikan cincin di jari sang anak, dan memakaikan sepatu di kakinya, yang menunjukkan bahwa si anak ini bahkan tidak punya alas kaki lagi. Ia berjalan dengan telanjang kaki selama ini. Dan perutnya yang lapar dipuaskan dengan daging dari anak lembu yang tambun. Sukacita yang sangat besar!



Si Sulung yang Kesal
Tidak heranlah, anak yang sulung memandang semua hal ini dengan penuh rasa muak dan berpikir, "Nah, anak ini memang pantas menerima nasibnya! Si pemalas ini tidak pernah bisa diandalkan, dasar anak bengal yang manja! Ia bahkan berani melecehkan bapa dengan meminta bagian warisannya sebelum bapa meninggal! Apa ada anak yang lebih hina dari itu? Terus dia pergi jauh menghambur-hamburkan warisannya. Berfoya-foya di negeri orang, dan sekarang kembali sebagai pengemis! Tapi bapa bukannya menempatkan dia di tempat yang seharusnya. Bapa malah bersukacita untuk kepulangannya!" Si anak sulung merasa sangat muak karena tidak seperti bapanya, ia tidak memiliki belas kasihan sama sekali. Ia tidak punya rasa iba terhadap adiknya, yang sudah mendapat pelajaran dari pengalaman buruknya. Sang ayah merasa karena si bungsu ini sudah sadar dan menerima pelajarannya dari pengalaman itu, tidak usahlah kesulitan yang dihadapi itu ditambah-tambahi. Ia sudah jatuh bangkrut, telanjang kaki dan kelaparan. Perlukah anak itu direndahkan lagi untuk memastikan bahwa ia belajar dari kesalahannya? Seberapa rendah perlakuan yang mampu ia tanggung? Sang ayah menganggap bahwa itu semua sudah cukup. Akan tetapi tidak ada yang cukup bagi si anak sulung. Ia merasa bahwa yang terbaik adalah menempatkan si bungsu sejajar dengan para budak. Ia tidak berbelas kasihan.


 Dan sebagai rangkuman dari perumpamaan ini, si ayah berkata, "Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali." Ini sebabnya mengapa perumpamaan ini disebut Perumpamaan tentang Anak yang Hilang.



Perumpamaan ini Semestinya disebut: Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang
Sebenarnya, saya cenderung menyebutnya sebagai Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang, yang satu tersesat lebih jauh dari yang lainnya. Atau, disebut Perumpamaan Dua Anak yang Hilang, satu telah ditemukan kembali dan yang satunya tidak pernah diselamatkan karena tidak pernah hilang.
Pertama-tama, perlu Anda cermati bahwa keseluruhan isi Alkitab bercerita tentang anak-anak yang hilang. Isi beritanya selalu adalah tentang anak yang hilang. Manusia pertama, Adam, tersesat dan hilang, dan Adam disebut sebagai seorang 'anak Allah' di dalam Lukas 3:38. Yaitu, asal muasalnya, keberadaan dan segala miliknya bersumber dari Allah. Adam adalah anak Allah dan Adam sudah hilang.
  
Kata 'anak' memiliki makna yang luas di dalam Alkitab. Para malaikat Allah di dalam Perjanjian Lama juga disebut sebagai 'anak-anak Allah', sebagai contoh di dalam Ayub 1:6, 2:1, 38:7. Mereka adalah anak-anak dalam kedudukan yang berbeda, kedekatan yang berbeda terhadap Allah. Namun, bahkan para malaikat juga bisa terhilang. Perhatikan contoh di dalam surat Yudas ayat 6, di situ disebutkan bahwa  Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar.


Kunci Pemahaman Perumpamaan ini: Menjadi Anak bukan Jaminan Anda Tidak akan Hilang
Ada satu pandangan yang beredar luas di kalangan orang Kristen sekarang ini, bahwa kedudukan sebagai anak merupakan jaminan keselamatan. Apa dasar jaminan keselamatan seorang Kristen? "Aku adalah anak". Dan banyak sekali orang yang berkata, "Sekali menjadi anak akan selamanya menjadi anak." Benar, 'sekali menjadi anak memang akan selamanya menjadi anak," tetapi apa artinya itu? Sejauh yang berhubungan dengan Kitab Suci, tidak ada makna jaminan keselamatan sama sekali. Seperti yang sudah kita lihat, Alkitab selalu bercerita tentang anak yang hilang. Menjadi seorang anak bukanlah jaminan bahwa Anda tidak akan terhilang, dan inilah poin utama dari Perumpamaan tentang Anak yang Hilang itu.
Jika Anda seorang Kristen, jangan mendasarkan keamanan rohani Anda pada anggapan bahwa Anda adalah anak dan dengan demikian Anda pasti akan baik-baik saja, jadi Anda boleh berbuat dosa sebanyak yang Anda mau. Anda boleh meninggalkan Allah dan masih diselamatkan juga pada akhirnya. Itulah pengajaran yang banyak diberikan oleh sebagian besar Gereja sekarang. Namun saya beritahu, ini adalah ajaran sesat, berdasarkan Firman Allah; ini bukanlah ajaran yang alkitabiah. Jangan membangun kehidupan rohani Anda di atas dasar yang salah. Mungkin terasa nyaman, menentramkan, namun tetap saja salah.

Pernah ada orang yang berkata kepada saya, "Sekalipun orang-orang Kristen mungkin berpaling dari Allah, mungkin berbuat dosa, melakukan berbagai pelanggaran, mereka tetap akan diselamatkan."
Saya bertanya, "Adakah dasar dari Firman Allah untuk hal itu?"
Jawabnya, "Sangat mudah! Kita adalah anak-anak Allah, dan jika sudah menjadi anak, maka selamanya akan tetap sebagai anak."
Menyedihkan sekali! Membangun anggapan tentang jaminan keselamatan seperti itu sangatlah membinasakan! Belum pernahkah Anda membaca Alkitab? Alkitab berbicara tentang anak-anak yang hilang. Adam terhilang. Dia adalah anak. Bangsa Israel terhilang. Mereka juga adalah anak-anak. Para malaikat adalah anak-anak Allah tetapi mereka juga ada yang hilang. Apakah Anda akan mendasarkan rasa aman Anda hanya dengan kata-kata, "Aku adalah anak"?

Saya tidak seketikapun menyangkal betapa luar biasanya menjadi seorang anak Allah! Dan kita adalah anak-anak Allah dalam beberapa pengertian. Sebagai contoh, makna dari ungkapan 'anak Allah' yang memiliki jangkauan yang luas, di dalam Kisah 17:28 di mana Paulus mengutip salah satu pujangga Yunani yang mengatakan bahwa kita ini dari keturunan Allah juga. Di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada. Ada cakupan makna yang luas di mana Allah menjadi Bapa dan kita, umat manusia, adalah makhluk dengan keberadaan yang berasal dari Dia. Sama seperti keberadaan kita yang berasal dari orang tua kita, di balik itu, Allahlah yang menjadi sumber keberadaan kita sesungguhnya. Allah adalah bapa di dalam pengertian cakupan yang sangat luas itu. Dan cara pandang ini juga diterima oleh Alkitab. Akan tetapi ada pengertian yang lebih dipersempit lagi. Sama seperti di dalam setiap keluarga, beberapa anak memiliki kedekatan yang lebih akrab dengan ayah mereka ketimbang anak yang lainnya. Hal ini terjadi juga di dalam kehidupan rohani, beberapa anak memiliki hubungan lebih akrab dengan Allah, dengan Bapa, ketimbang anak yang lainnya.
Di samping itu, ada lagi pengertian yang lebih khusus sifatnya yaitu kita menjadi anak karena Allah mengangkat kita sebagai anak-Nya. Paulus berkata bahwa kita telah menerima Roh yang menjadikan kita anak Allah di Roma 8:15. Dengan demikian, kita menjadi anak karena pengangkatan; dan juga menjadi anak karena kelahiran baru.

Yesus juga adalah Anak, akan tetapi tentulah kita bukanlah anak dengan pengertian yang sama dengan Yesus sebagai Anak Allah. Dan Anda akan melihat betapa keberadaan-Nya sebagai Anak sungguh berbeda dengan keberadaan kita sebagai anak. Keberadaan Dia sebagai Anak lebih bersifat esensial. Yesus memiliki natur yang sama dengan Bapa. Sedangkan kita tidak dari natur yang sama dengan Allah. Kita adalah manusia, tetapi Yesus adalah keduanya, Ilahi dan juga manusia. Dari sini kita dapat melihat bahwa Alkitab memakai kata 'anak' dengan pengertian yang sangat luas.

Tetapi cukup untuk dikatakan di titik ini, bahwa tidak kira dalam pengertian apa pun, Anda tidak dapat berkata, "Aku aman karena aku adalah anak." Saya sedih melihat begitu banyak orang Kristen yang diajari bahwa kualitas kehidupan yang mereka jalani tidaklah penting. Tidak masalah apakah mereka kudus atau tidak. Tidak masalah apakah mereka berbuat dosa atau tidak.
Kenyataannya, pernah saya menanyakan salah satu dari orang Kristen itu, "Katakan pada saya, berdasarkan doktrin yang Anda yakini - tidak tahu dari mana asalnya, jika seorang Kristen melakukan pembunuhan dan tidak bertobat, apakah ia tetap akan diselamatkan? Ya atau tidak?"
Dan tahukah Anda apa jawabannya? Dia berkata, "Ya." Berdasarkan teori 'sekali selamat tetap selamat', Anda tentu saja akan tetap diselamatkan biarpun sudah melakukan pembunuhan. Tidak ada hal yang dapat Anda lakukan untuk tidak diselamatkan.

Saya berkata, "Jadi jika seorang yang bukan Kristen melakukan, katakanlah, sebuah dosa kecil seperti mencuri, apakah ia harus masuk ke neraka sementara orang Kristen yang membunuh dan tidak bertobat akan tetap diselamatkan? Doktrin macam apa yang Anda ajarkan ini? Dari bagian Alkitab yang mana Anda menemukan ajaran ini?" Kesalahan itu datang dari penalaran yang salah bahwa 'sekali anak tetap anak.' Mereka lupa bahwa Anda bisa saja menjadi anak namun tetap hilang. Dan hal ini adalah jauh lebih tragis ketimbang tidak pernah menjadi anak sama sekali.


Perumpamaan ini Berbicara tentang Anak yang Hilang dan Diselamatkan karena Bertobat
Saya harap Anda mau memikirkan hal ini dengan sangat hati-hati. Saya ulangi sekali lagi: Alkitab adalah sebuah Kitab tentang anak-anak yang hilang. Ini adalah kisah yang tragis. Dan apakah Anda pikir anak yang bungsu itu akan diselamatkan jika ia tidak bertobat? Perumpamaan ini bercerita tentang anak yang hilang dan diselamatkan bukan karena ia adalah seorang anak, tetapi karena ia bertobat. Keberadaan sebagai anak tidak ada artiya buat dia, jika ia tidak bertobat. Jika ia bisa diselamatkan tanpa harus bertobat, maka kita tidak membutuhkan perumpamaan ini. Poin pokok dalam perumpamaan ini adalah bahwa ia diselamatkan karena ia bertobat.

Lalu bagaimana dengan si sulung? Ia juga disebut anak. Tahukah Anda siapa yang diwakili oleh si sulung ini? Jika Anda memperhatikan dengan teliti perumpamaan-perumpamaan dari Yesus, beberapa dari antaranya bercerita tentang dua anak. Anak yang sulung selalu dihubungkan dengan para ahli kitab dan orang-orang Farisi sementara yang bungsu dikaitkan dengan orang-orang berdosa dan pemungut cukai. Ini adalah dua kelompok utama umat di Israel: para ahli kitab dan orang-orang Farisi di satu pihak, dan orang-orang berdosa serta pemungut cukai di pihak lannya. Mereka itulah dua anak ini. Itu sebabnya Yesus berkata kepada orang-orang Farisi dan ahli kitab, "Orang-orang berdosa dan pemungut cukai akan masuk ke dalam kerajaan Allah tanpa kalian, karena mereka akan bertobat. Tetapi kalian akan tertinggal di luar. Saat itulah kalian akan meratap dan menggertakkan gigi." Tidak ada orang yang diselamatkan tanpa pertobatan. Tidak ada ajaran alkitabiah yang mengatakan bahwa setiap orang akan diselamatkan tanpa pertobatan.


Jangan Terlalu Yakin bahwa Anda adalah Anak!
Itu sebabnya mengapa Yohanes Pembaptis, nabi besar Allah, berkata, "Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!" (Mat.3:8-9). Namun orang-orang Yahudi, seperti juga orang-orang Kristen, mendasarkan keyakinan mereka pada keberadaan sebagai anak: "Kami adalah umat yang terpilih. Kami telah dipilih oleh Allah." Benar, itu semua karena anugerah, akan tetapi anugerah juga bisa menyebabkan kita menjadi sombong. Lagi pula, oleh kasih karunia, Ia telah memilih saya, dan bukan Anda. Ia telah memilih kami, bukan kalian. Ini adalah awal suatu kesombongan. Saya mau tunjukkan kepada anda bahwa dengan sikap seperti itu berarti Anda masih belum memahami pengajaran yang alkitabiah tentang hal menjadi anak. Dan itu sebabnya mengapa di dalam Yohanes 8:41 orang-orang Yahudi berkata kepada Tuhan, "Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah," dengan kata lain, "Kami para anak." Benar sekali, mereka memang para anak, akan tetapi Tuhan Yesus berkata di ayat 44, "Iblislah yang menjadi bapamu." Apakah anak-anak Abraham berasal dari iblis? Bukan, anak-anak Abraham adalah anak-anak perjanjian! Tuhan Yesus berkata, "Dari buahmulah terlihat bahwa kalian tidak lain adalah anak-anak iblis." Ini bukan suatu pernyataan yang bermaksud menghina. Ini adalah diagnosa tentang keadaan rohani mereka. Tidak, kita tidak boleh mendasarkan keyakinan kita pada fakta bahwa kita telah dipilih untuk menjadi anak. Mari kita ingat poin ini baik-baik.

Sangatlah penting bagi kita untuk tidak disesatkan oleh pengajaran palsu di zaman sekarang ini. Dapat saya katakan bahwa mayoritas pengajaran di Gereja sekarang ini mencoba untuk mengatakan kepada Anda bahwa yang perlu Anda lakukan adalah menjadi anak. Saudara-saudaraku, menjadi anak adalah hal yang penting. Itu adalah langkah pertama. Namun jangan membayangkan bahwa kedudukan sebagai anak adalah dasar dari jaminan keselamatan. Tidak ada dasar alkitabiah bagi hal itu karena seiring dengan penghargaan itu datang pula suatu tanggungjawab. Semakin banyak Anda menerima, semakin banyak Allah menuntut dari Anda. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari Anda karena Anda adalah seorang anak. Dan itulah yang Ia katakan kaum Israel, "Karena engkaulah, dan hanya engkaulah, umat yang Kupilih di atas bumi ini, maka Aku akan menghakimi engkau" (Ul.7:6-7; Yeh.18:30). Itulah dasar dari penghakiman-Nya.
Ingatlah selalu bahwa perumpamaan ini tidak berkisah tentang orang tidak percaya yang tersesat, melainkan tentang anak yang hilang. Camkanlah hal ini baik-baik. Dan di dalam perumpamaan ini, anak-anak tersebut bahkan merujuk kepada kelompok-kelompok yang ada dalam kalangan umat Yahudi: di satu pihak, orang-orang Farisi beserta para ahli kitab, dan di pihak lain adalah para pemungut cukai dan orang-orang berdosa.


Jaminan kita Hanya ada di dalam Allah, Bapa kita yang Penuh Belas kasih
Kita akan masuk ke dalam poin yang terakhir walaupun masih ada banyak kekayaan makna di dalam perumpamaan ini yang dapat kita gali. Poin ini dapat diilustrasikan dengan memakai pengalaman saya di dalam kamp tahanan kaum Komunis itu. Sesudah Allah menempatkan saya di tempat yang sangat rendah seperti itulah baru saya siap untuk bertemu dengan-Nya. Bagaimana menurut Anda jika si bungsu ini, ketika ia sedang duduk di antara babi-babi, berkata pada dirinya sendiri, "Nah, saya ini masih seorang anak! Jika saya menuntut ke pengadilan, mungkinkah dia akan menyangkal bahwa ia adalah ayah saya dan saya adalah anaknya?" Anggaplah ia memutuskan, "Saya akan pulang dan berkata, "Sudahlah bapa, bagaimanapun juga saya ini kan anakmu. Engkau tahu siapa saya, bukankah begitu? Sekarang ini saya terlihat lusuh, tetapi nama keluarga saya masih Chang, bukankah begitu? Engkau adalah ayah saya dan engkau tidak mungkin dapat menyangkal hal itu. Ini akte kelahiran saya. Semua keterangan ada di sana."" Menurut Anda, apa yang akan terjadi dengan si bungsu ini?

Saya lihat ada begitu banyak orang Kristen yang berperilaku seperti ini. Mereka berpikir bahwa pada Hari itu, mereka akan datang menghadap kepada bapa dan berkata, "Lihat, ini surat baptis saya, saya dibaptis di sebuah gereja yang sangat bagus, Gereja Injil di Montreal (Kanada). Tempat yang cukup layak untuk beribadah. Lihatlah keterangan di dalam surat itu. Ini tanda tangan pendetanya. Sekalipun mungkin engkau tidak bisa membaca, tentunya engkau tahu bahwa itu adalah tanda tangan. Ini surat resmi. Jadi, sekarang saya datang. Saya mau mengklaim keselamatan saya! Saya memang tidak menjalani hidup selayaknya sebagai orang Kristen. Cukup banyak dosa yang saya perbuat. Cukup banyak tindakan ngawur yang saya lakukan. Bahkan mungkin kualitas kehidupan rohani saya sebagai orang Kristen masih di bawah kualitas kehidupan orang yang non-Kristen. Tapi saya punya surat baptis. Saya adalah seorang anak!"
Dan orang-orang yang malang itu mengira bahwa Allah akan berkata, "Oh, mari sini anakKu! Baiklah, karena kamu punya surat baptis, Aku terima kamu sebagai anak dan engkau boleh kembali ke rumah."
Seperti kebanyakan pengalaman orang-orang Kristen pada hari itu, Anda juga akan sangat terkejut! Jika Anda mendasarkan keselamatan Anda pada klaim anda sebagai anak, tamatlah riwayat Anda! Ini bukan untuk menakut-nakuti.

Kita berbicara tentang keberadaan sebagai anak di dalam perumpamaan ini. Si anak bungsu baru menjadi layak sebagai anak justru saat ia menyadari bahwa ia tidak layak untuk menjadi anak. Si bungsu ini menjadi anak seutuhnya baru pada saat ia menyadari bahwa ia sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk menjadi anak. Ini adalah perbedaan yang mendasar antara si bungsu dan si sulung, anak namun belum menjadi anak. Ini adalah poin yang harus kita pegang dan pahami secara mendalam. Ketika si bungsu membatin, "Aku akan berkata kepada bapa, 'Saya tidak layak menjadi anakmu. Berilah saya tempat di antara para hambamu,'" saat itulah ia berada dalam keadaan yang layak menerima anugerah. Anugerah bukanlah anugerah jika Anda dapat menuntut pemenuhannya. Waspadalah terhadap setiap doktrin atau pengajaran yang mendorong Anda untuk berpikir bahwa pada Hari Penghakiman nanti Anda berhak untuk menuntut keselamatan bagi Anda, bahwa Anda berhak untuk memperolehnya atas dasar suatu tanggal dan bulan anda percaya. Setiap orang yang berpikir seperti itu akan segera mendapatkan kejutan besar. Hanya ada satu macam orang yang akan mendapatkan warisan, yaitu orang miskin. "Berbahagialah orang yang miskin." Mereka tidak memiliki hak; dan mereka tidak menuntut hak apapun. Mereka hanya datang dalam kerendahan hati dan bertobat.
Saya beritahu Anda bahwa saya akan menjadi orang yang sangat bodoh jika saya menghadap kepada Allah di Hari Penghakiman itu dan berkata, "Lihat, saya seorang pendeta. Saya sudah memberitakan Injil selama bertahun-tahun! Saya berkhotbah di dalam banyak seminar dan KKR. Lihat saja betapa banyak peserta yang hadir di sana, mereka semua tahu bahwa saya memberitakan Injil, bukankah begitu? Saya adalah seorang Kristen, dan bukan hanya itu, saya seorang pendeta! Jadi kalau ada orang yang berhak masuk ke dalam kerajaan Allah, sayalah orang itu! Perintahkanlah para malaikat untuk meniupkan terompet menyambut saya!" Saya beritahu Anda, jika saya datang kepada Allah dengan cara seperti ini, Ia sama sekali tidak akan ada waktu untuk saya.

Pada Hari itu, saat saya datang kepada Allah, saya akan berkata, "Tuhan, saya tidak punya apa-apa yang dapat saya persembahkan padaMu. Saya tidak mempunyai klaim apapun. Kiranya Kau berkenan menerima saya sebagai hambaMu. Saya sudah mengusahakan apa yang dapat saya lakukan. Pekerjaan saya sungguh tidak berarti sekalipun itu sudah saya lakukan dengan segenap kemampuan saya di dalam kasih karuniaMu. Karena keterbatasan saya, hasilnya memang tidak memadai. Saya sungguh memohon kiranya Engkau mau menempatkan saya di antara para hambaMu." Hanya sikap hati seperti itu yang dicari oleh Allah. Ia tidak punya waktu untuk berurusan dengan orang-orang yang angkuh dan meninggikan diri. Dan jika Anda pernah menerima doktrin atau ajaran yang menempatkan Anda di dalam semacam 'jaminan' seperti itu, lupakan saja! Tidak ada landasan alkitabiah yang meneguhkan ajaran itu. Seperti yang diceritakan oleh Yesus, anak ini diterima karena ia pulang kepada ayahnya, memohon untuk boleh diterima sebagai hamba atau budak. Ingatlah hal itu baik-baik. Camkanlah hal ini baik-baik.

Saya berdoa agar Anda dapat mempelajari sikap ini karena inilah kunci pemahaman seluruh perumpamaan ini. Jika Anda mencari sesuatu pelajaran dari peerumpamaan ini, maka poin inilah hal utama yang disampaikan oleh perumpamaan ini. Bukan sekadar kepulangan si anak bungsu yang diceritakan. Yang terpenting adalah dengan cara bagaimana si bungsu ini pulang. Yang terpenting adalah perubahan besar yang sudah terjadi di dalam sikap si anak bungsu itu.
Rasul Tuhan yang besar, Paulus, bermegah hanya dalam satu gelar saja, yaitu "hamba atau budak Yesus Kristus." Ia tidak menuntut kehormatan yang lebih tinggi ketimbang sekadar sebagai seorang budak Yesus. Pada zamannya, seorang pekerja dengan upah harian masih berkedudukan lebih tinggi dari pada seorang budak. Seorang pekerja harian mempunyai sedikit kemerdekaan, hal yang tidak dimiliki oleh seorang budak. Paulus hanya berkeinginan untuk dapat diterima sebagai salah satu budak Yesus Kristus. Paulus tidak bermegah atas keberadaannya sebagai anak. Ia menyatakan dengan sangat tegas, "Memang benar, kita menantikan pengangkatan sebagai anak. Namun di atas segalanya, saya bermegah hanya atas kesempatan istimewa menjadi seorang hamba atau budak Yesus Kristus."
Seorang hamba atau budak tidak menerima penghargaan atau balas jasa setelah ia melakukan segala sesuatu. Ia sekadar dipandang telah menjalankan tugasnya. Pernahkah Anda melihat ada budak yang datang kepada majikannya dan berkata, "Lihat, perhatikan prestasi saya"? Apapun yang sudah Anda kerjakan bagi Tuhan, tidak peduli sebesar apapun prestasi Anda, tidak lebih dari sekadar menunaikan apa yang memang sudah seharusnya Anda kerjakan.

Inilah arti dari 'keselamatan oleh anugerah'. Anugerah berarti "Tidak ada satu hal pun yang layak untuk saya banggakan. Saya tidak menuntut apa-apa, saya tidak membanggakan keberadaan sebagai anak yang telah diberikan kepada saya." Hal yang paling berbahaya adalah membanggakan anugerah seolah-olah anugerah itu merupakan hak Anda. Mari saya ingatkan bahwa, di dalam pengajaran yang alkitabiah, segala sesuatu yang dilandasi oleh hak bukanlah anugerah. Segala sesuatu yang menjadi hak Anda pasti berasal dari hasil usaha Anda sendiri. Segala sesuatu yang berasal dari anugerah tidak pernah merupakan hasil perjuangan. Jika kita menjadi anak, hal itu terjadi bukan karena kita memiliki hak atas hal itu. Dan sekalipun saya adalah anak, saya tidak dapat mengklaim keberadaan saya sebagai anak sebagai satu hak karena hal itu selalunya merupakan anugerah, dan anugerah tidak pernah dilandasi oleh hak.

Pada Hari itu, saya akan datang kepada Allah bukan sebagai orang penting, namun sebagai seorang berdosa yang telah bertobat yang diselamatkan oleh anugerah. Dan saya akan menghadap Allah Bapa dan berkata, "Inilah saya, dengan penuh sukacita menerima dan terus menerima anugerahMu." Dan saya memiliki keyakinan itu bukan karena saya adalah anak, melainkan karena belas kasih-Nya. Keyakinan itu tidak berdasarkan kedudukan saya, sebagai anak atau apapun itu, tetapi berdasarkan pada siapa Allah itu - Bapa yang penuh dengan belas kasihan.

Akan tetapi Dia tidak akan berbelas kasih kepada orang-orang yang tinggi hati, orang-orang yang membanggakan kedudukan mereka sebagai anak seolah-olah hal itu merupakan hak yang dapat mereka klaim. Orang-orang ini masih belum memahami apa arti keberadaan sebagai anak. Akan tetapi Gereja di zaman sekarang ini dipenuhi oleh orang-orang Kristen yang berkata, "Saya pasti selamat karena saya adalah anak Allah." Anda baru bisa hidup dan berlaku seperti seorang anak jika Anda menjalani hidup dan berperilaku seperti seorang yang sadar bahwa Anda tidak layak bahkan untuk berada di antara para pekerja harian apa lagi kelayakan untuk menjadi anak. Semoga Anda dapat memahami hal itu.

Kiranya Allah menganugerahkan kesempatan bagi kita untuk bisa kembali kepada-Nya dalam pertobatan, hari demi hari. Semoga saya bisa menjalankan hal ini setiap hari sehingga jika Hari itu tiba, saya dapat datang menghadap kepada-Nya di dalam jaminan kepastian iman, dalam belas kasih-Nya kepada orang-orang yang bertobat dan rendah hati. Inilah jaminan kepastian kita: Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang (Yoh.6:37). Inilah jaminan keselamatan saya, bukan didasarkan saya ini penting, saya adalah anak Allah. Jangan pernah mendasarkan jaminan keselamatan Anda kepada segala sesuatu yang lain selain Allah.


Source:
 http://www.cahayapengharapan.org/khotbah/perumpamaan/texts/094b_perumpamaan_tentang_dua_anak_yang_hilang.htm

Wednesday, March 7, 2012

6 Characteristics for a Potential Spouse

"What to look for as you contemplate marriage."
-Dennis Rainey-


I am often asked, "What should a single person look for in a potential spouse?" Singles want to know...and parents want to know so they can pass the information on to the children. So I finally came up with the following list: 




A woman should seek a man who…
  1. Fears God. Some of the ways you can tell if a young man fears God is by his language and how he treats other people. Does he treat them with respect? If not, why not? We as human beings are made in the image of God, and respecting people ultimately shows a heart that reverences the One whom we reflect.
  2. Is not afraid to love. That may sound like a no-brainer, but a lot of young men today are afraid of commitment, and the young lady ends up chasing the young man. What we need today are more young men who are not afraid of being real, authentic, and committed to a young lady in a relationship. We need men who are not afraid to love.
  3. Can admit his faults, his mistakes, and when he's hurt you. Ruth Bell Graham made the statement, "A good marriage is the union of two forgivers." The reason is because you're going to hurt one another over and over again during your lifetime together. If you don't know how to ask for forgiveness and give forgiveness, you're never going to have a great marriage. The growth of your marriage will be stunted early on.
  4. Can control his passions. We live in an age that has been invaded by pornography. The world sends a message that you can have it all and can satisfy yourself. I would want my daughters to date a young man who is fully in charge of his passion and can control his desire for the opposite sex.
  5. Honors his parents. In the Ten Commandments, God tells us to honor our parents that our lives may be long and it may be well with us. Wouldn't you want to select a man whose life has a sense of well being in God's favor? I have heard it said that if you want to see how a young man will treat you, see how he treats his mother. I'd take that a step further—how does he honor both his mother and his father? Does he speak well of them or is he angry with them? Does he refuse to speak about them at all? What's going on between a young man and his parents is very important.
  6. Is in the process of becoming a leader who knows how to serve. Being the head of a home and having so much authority and responsibility demands a servant spirit and self-denial. If a young man doesn't know how to deny himself on behalf of another person, giving up his personal rights, goals, and dreams, I would question whether he would know how to create a family over a lifetime.  
  
    A man should seek a woman who…
    1. 1. Fears God and whose hope is in the Lord God. Her life is going to be a reflection of where her hope is. If a young lady's hope is in any place other than the Lord, the young who marries her is going to spend the rest of his life trying to help his wife catch a butterfly. It isn't going to happen.
    2. 2. Honors her parents. There is so much baggage today being brought into marriages based upon dysfunctional relationships with Mom and Dad. And even though this impacts both the husband and the wife, it's been my experience that women tend to be impacted more negatively by this than young men. Women tend to be more nurturing and they are impacted deeply by hurting relationships. If she has a hard time honoring her parents, she will have a hard time honoring you. Find someone who has or is working to have a healthy relationship with her parents.
    3. Knows how to ask for forgiveness, admit she's wrong, grant forgiveness, and give grace when you fail her. This isn't just a one-way street. Both of you are going to need to do that.
    4. Wants to be a wife and a mother. There are some young ladies who want to be married, but don't really want to be a wife and a mother. They want to be married, but they want their career to be their number-one pursuit. I believe the scriptures teach that a wife's number-one pursuit should be ministering to her husband and family. That means if you choose to have children, your priorities and values have already been determined.
    5. Displays character in her modest dress. A young man's character is displayed in his choices around life—around the use of money and relationships. But a woman's character is displayed in how she handles the power of her femininity and sexuality. In other words—how modest is she? That's becoming a weird word in our culture, but I would challenge young men to keep their eyes out for young women whose character is displayed in not only on the inside, but the outside as well.
    6. Knows how to follow a man. That doesn't mean perfection, but it does mean that she understands that she's the vice president, not the president. Women are joint heirs of the grace of God, but someone has to make the final decision when you both disagree. When one person votes one way, and the other person votes another, I believe it's the responsibility of the husband to listen carefully and wisely consider the counsel of his wife. It's upon him and to the Lordship of Jesus Christ as being led in the power of the Holy Spirit to make that decision, and then it's upon the wife to be able to follow under the same influence. That's not an easy thing in this culture.  



    Source :
    http://www.familylife.com/site/apps/nlnet/content.aspx?c=dnJHKLNnFoG&b=3593987&ct=4639461&notoc=1

    Saturday, March 3, 2012

    Parable of the Prodigal Son



    The Parable of the Prodigal Son – The Text
    Jesus continued: "There was a man who had two sons. The younger one said to his father, 'Father, give me my share of the estate.' So he divided his property between them.

    "Not long after that, the younger son got together all he had, set off for a distant country and there squandered his wealth in wild living. After he had spent everything, there was a severe famine in that whole country, and he began to be in need. So he went and hired himself out to a citizen of that country, who sent him to his fields to feed pigs. He longed to fill his stomach with the pods that the pigs were eating, but no one gave him anything.

    "When he came to his senses, he said, 'How many of my father's hired men have food to spare, and here I am starving to death! I will set out and go back to my father and say to him: Father, I have sinned against heaven and against you. I am no longer worthy to be called your son; make me like one of your hired men.' So he got up and went to his father.

    "But while he was still a long way off, his father saw him and was filled with compassion for him; he ran to his son, threw his arms around him and kissed him.

    “The son said to him, 'Father, I have sinned against heaven and against you. I am no longer worthy to be called your son.'

    "But the father said to his servants, 'Quick! Bring the best robe and put it on him. Put a ring on his finger and sandals on his feet. Bring the fattened calf and kill it. Let's have a feast and celebrate. For this son of mine was dead and is alive again; he was lost and is found.' So they began to celebrate.

    "Meanwhile, the older son was in the field. When he came near the house, he heard music and dancing. So he called one of the servants and asked him what was going on. 'Your brother has come,' he replied, 'and your father has killed the fattened calf because he has him back safe and sound.'

    "The older brother became angry and refused to go in. So his father went out and pleaded with him. But he answered his father, 'Look! All these years I've been slaving for you and never disobeyed your orders. Yet you never gave me even a young goat so I could celebrate with my friends. But when this son of yours who has squandered your property with prostitutes comes home, you kill the fattened calf for him!'

    "'My son,' the father said, 'you are always with me, and everything I have is yours. But we had to celebrate and be glad, because this brother of yours was dead and is alive again; he was lost and is found'" (Luke 15:11-32). 
     

    The Parable of the Prodigal Son – The Meaning
    The parable of the prodigal son is one of the most well-known stories of Jesus. It is more commonly referred to as the story of the prodigal son, though the word prodigal is not found in Scripture. To characterize the son as “lost” emphasizes that sinners are alienated from God; to characterize the son as “prodigal” casts an emphasis on a wayward lifestyle. In truth, this particular parable has many points to bring out concerning the nature of man and God.

    The word prodigal may be defined as “rashly or wastefully extravagant”; the son in the story exhibited this behavior with his handling of his share of his father’s estate. Having prematurely gotten hold of his inheritance from the father he “squandered his wealth in wild living” then, “began to be in need.” The natural state of unregenerate mankind is always toward lust and greed and extravagance of all kinds; without God we squander our resources and energies until we are void and empty. When the younger son found himself in this state, he remained in the far country working in a contemptible job and willing to eat the food he was feeding to the pigs which were under his care. When we remain in a place of alienation from God, we descend into futility, darkness, and humiliation.

    The parable of the prodigal son indicates, however, that we do have the opportunity to make a change; we do not have to stay in our hopeless state; we can come to ourselves. The lost son realized that in his father’s house there was sustenance for him; he humbled himself, willing, if necessary, to be his father’s servant, and started back home. This turning in our lives is the first indication of God’s love for us. Even recognizing our sinful, hopeless state is initiated in us by God, Himself. “Or do you show contempt for the riches of his kindness, tolerance and patience, not realizing that God's kindness leads you toward repentance?” (Romans 2:4).

    The parable of the prodigal son makes it obvious that God was at work. That he was able to see the younger son when he was still a long way off means that the father was watching for his son, waiting for him, longing for him. The father runs to him, embraces him, loves him and gives him gifts; he seems totally oblivious to the fact that his son has disrespected him, acted outrageously, and lost everything. The father lavishes upon him, celebrates over him. This is a wonderful picture of the great love of God towards us. He seeks after us, reaches out to us. When we come to Him, He washes away all our evil deeds of the past, not holding them against us. “You will again have compassion on us; you will tread our sins underfoot and hurl all our iniquities into the depths of the sea” (Micah 7:19).

    The parable of the prodigal son also shows the attitude of the self-righteous sinner, pictured by the older son. He quarreled with his father that the younger son had messed up and yet the father had prepared for him the “fatted calf.” Because he considered himself better than the younger son, he could not share in the father’s joy. “My son,” the father said, “you are always with me, and everything I have is yours.” The older son’s hardness of heart made him unaware of the riches available to him in his father’s house. This son complained that he had “slaved all these years.” He had no more love for the father than the younger son; nor did he avail himself of all the good things the father freely provided for him at all times. Both sin and self-righteousness separate us from God. We all require God’s grace, His unearned, unmerited love for us. The father went out to the disgruntled older son. God is He who always continues to seek after us, regardless of the state we are in. 




    Source :
    http://www.allaboutjesuschrist.org/parable-of-the-prodigal-son-faq.htm

    Thursday, March 1, 2012

    Lost Are Found - Hillsong



    Everlasting
    While earthly ages fade
    In mercy
    Our God Your kingdom reigns

    Lord over everything
    You are near
    All of the universe at Your feet

    In the Savior
    Injustice brought to right
    For Your glory
    That Your name be lifted high

    Lord over everything
    You are near
    All of the universe at Your feet
    Lord over everything
    You are near
    All of the universe at Your feet

    The lost are found
    The blind will see
    The lame will walk
    The dead will live
    And You are God
    Forever You will reign
    [x3]

    Lord over everything
    You are near
    All of the universe at Your feet
    Lord over everything
    You are near
    All of the universe at Your feet

    The lost are found
    The blind will see
    The lame will walk
    The dead will live
    And You are God
    Forever You will reign
    [x8]